* اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * وَللهِ الْحَمْدُ * اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاَ. لاَ اِلَهَ إِلاَّّ اللهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ َلا شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِى التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ الله! إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Ribuan tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus, di kegersangan kawasan yang meranggas, di atas bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah cita-cita universal ummat manusia dipancangkan. Nabi Ibrahim Alaihissalam, Abu al-Millah, telah memancangkan sebuah cita-cita yang kelak terbukti melahirkan peradaban besar. Cita-cita kesejahteraan lahir dan batin. Suatu kehidupan yang secara psikologis aman, tenteram, dan sentosa dan secara materi subur dan makmur.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (QS, al-Baqarah: 126)
Pada hari ini jutaan manusia, dengan kesadaran keagamaan yang tulus, kembali mengenang peristiwa keagamaan yang sangat bernilai itu. Mereka coba merefleksikan maknanya pada berbagai bentuk ritual yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Maka jutaan manusia, dari berbagai etnik, suku, dan bangsa di seluruh penjuru dunia, mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil, sebagai refleksi rasa syukur dan sikap kehambaan mereka kepada Allah SWT. Sementara jutaan yang lain sedang membentuk lautan manusia di tanah suci Makkah, menjadi sebuah panorama menakjubkan yang menggambarkan eksistensi manusia di hadapan kebesaran Rabb Yang Maha Agung. Mereka serempak menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan-Nya, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak.”
Sesungguhnya apa yang dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itu adalah sebuah momentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup manusia sampai sekarang ini. Ia menghendaki sebuah masyarakat ideal yang bersih; yang merupakan refleksi otentik interaksinya dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai luhur, dan tata aturan (syariat) yang telah menjadi dasar kehidupan bersama. Sebab keidealan dan kebersihan sebuah masyarakat hanya mungkin terjadi jika terdapat kesesuaian antara realitas aktual dengan keyakinan (aqidah), nilai-nilai luhur (akhlaq), dan tata aturan (syariat) yang diyakini.
Cerminannya: terbangunnya kehidupan yang seimbang dan tenteram; strkturnya yang stabilitas dan kokoh; dan produktifitasnya laksana kebun yang pohon-pohonnya rindang yang akar-akarnya kokoh menghunjam ke bumi, tertata dan terawat, enak dipandang, dan buah (kemanfaatan)-nya tidak mengenal musim, serta sekaligus menjadi tempat persemaian generasi mendatang.
Sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan tata kehidupan yang telah dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itulah yang terbukti melahirkan cita-cita ketenteraman dan kemakmuran hidup manusia. Itulah agama Nabi Ibrahim, agama Islam yang tulus dan jelas. Tidak ada yang membencinya kecuali orang yang menzhalimi, memperbodoh, dan merendahkan diri sendiri.
Ibrahim adalah suri tauladan abadi. Ketundukannya kepada sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan ilahiah selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. “Ketika Allah berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah (Islamlah),” maka ia tidak pernah menunda-nundanya walau sesaat, tidak pernah terbetik rasa keraguan sedikit pun, apa lagi menyimpang. Ia menerima perintah itu dengan seketika dan dengan penuh ketulusan.
Ternyata keislaman Ibrahim tidak hanya untuk dirinya sendiri, ketundukannya kepada ajaran-ajaran dan syari’at Allah bukan hanya buat dirinya sendiri, bahkan tidak hanya untuk generasi sezamannya, melainkan untuk seluruh generasi ummat manusia. Atas dasar itulah beliau wariskan Islam dan sikap ketundukan kepadanya untuk anak cucu sepeninggalnya, untuk generasi berikutnya sampai akhir masa.
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".Wahai anak-anakku! Sesungguhnyaa Allah telah memilih agama ini bagimu!” (QS, al-Baqarah [2]: 132)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Allahu Akbar 3x Allahu Akbar wa lillahi al-hamd
Apa yang diwasiatkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub tersebut jelas mengisyaratkan agar anak cucu mereka, agar generasi sesudahnya menerima dan menegakkan Islam secara utuh serta konsisten dalam merealisasikan cita-cita kesejahteraan. Ketulusan dalam menerima dan menegakkan Islam serta konsistensi pada cita-cita luhur adalah jaminan untuk memperoleh kesejahteran hidup. Sebaliknya, ketidakpatuhan dan inkonsistensi kepada Islam dapat menjermuskan kehidupan kaum muslimin ke dalam lembah yang penuh nestapa dan akan menjerembabkan manusia ke dalam krisis multi dimensi yang berkepanjangan
Selanjutnya download disini