IDUL ADHA DAN HUMANISME

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
* اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ * وَللهِ الْحَمْدُ * اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاَ. لاَ اِلَهَ إِلاَّّ اللهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ َلا شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِى التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ الله! إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Pada hari mulia dan luhur ini, semua kaum muslimin yang bertebaran disegenap penjuru dunia, serempak secara bersama-sama menyambut kedatangan Idul Adha dengan ucapan tahmid, tahlil dan takbir. Gemuruh suara takbir dan tahmid bergema diangkasa raya, diucapkan oleh setiap orang muslim dengan tulus dan khusu’. Manusia muslim dalam segala keadaan, dalam berbagai status sosial menghadap keharibaan-Nya dengan tunduk dan patuh, menghayati dan merasakan keagungan-Nya. Dia yang Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha Esa, untuk-Nya segala keagungan, kesempurnaan dan kekuasaan. Hanya kepada-Nya kembali segala puja dan puji dari segenap makhluk-Nya, yang hidup dan berkembang di alam raya ini.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Apabila kami yang berada di tanah air menyambut hari raya Idul Adha yang mulia dengan takbir dan tahmid dengan rasa syukur dan tulus, maka jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji berkumpul di tanah suci Makkah, Arafah dan Mina untuk menunaikan ibadah haji. Mereka datang dari berbagai pelosok dunia, dari berbagai bangsa dan suku, dalam segala keadaan, mereka menyatu dalam ketaatan dan kepasrahan kepada Khalik-nya. Mereka menanggalkan segala atributnya masing-masing, meninggalkan berbagai kegiatan di tanah air untuk menghadap kepada-Nya yang Maha Rahman dengan keikhlasan yang mendalam sampai kelubuk hati. Para jamaah secara bersamaan mengumandangkan kalimat yang sama, kalimat yang agung, yaitu kalimat talbiah.

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكُ لاَ شَرِيْكَ لَكَ.

“Kami penuhi panggilan-Mu wahai Allah, wahai Allah kami datang memenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan karunia hanyalah milik-Mu, milik-Mu segala kekuasaan dan kerajaan, tiada sekutu bagi-MU.”


Mereka yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci itu, tidaklah semuanya orang-orang kaya, berpangkat atau berharta, sebagian besar dari mereka adalah rakyat biasa, yang semenjak kecil, ketika ia sadar sebagai seorang muslim telah mengukirkan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk merealisasikan niatnya yang kuat itu, selama bertahun-tahun mereka bekerja keras, berhemat dan menyisihkan uang yang diperolehnya sedikit demi sedikit, sehingga cukup bagi ibadah yang mulia itu. Mereka telah membiasakan diri untuk hidup sederhana, baik pada waktu mereka miskin maupun saat mereka berkecukupan. Mereka sisihkan sebagian hartanya yang diperoleh dengan jalan memeras keringat, dengan kerja keras, demi mengagungkan syiar agama Allah dan mengagungkan da’wah Islamiyah. Pengabdian yang tulus dan suci itu dilakukan dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Sekiranya kita mengamati sejarah perkembangan agama-agama besar dunia, akan dijumpai umumnya agama-agama itu berkembang sangat lambat. Ada yang memerlukan waktu ratusan tahun, bahkan ada yang ribuan tahun baru berkembang secara luas. Tidak demikian halnya kalau kita amati perkembangan da’wah Islamiyah yang dibawa Rasul Muhammad SAW, ia berkembang sangat cepat, dimulai dari Makkah dan dikembangkan di Madinah, terus menyebar keseluruh pelosok dunia. Rasul Muhammad SAW, dengan waktu yang relatif singkat, hanya kurang dari 23 tahun telah berhasil mengembangkan Islam di seluruh jazirah Arab. Seratus tahun kemudian da’wah Islam tersebar di berbagai negara sekitar jazirah Arab, memasuki Afrika Utara, Asia Muka, Asia Tengah dan Eropa Timur. Beberapa ratus tahun setelah itu, ia berkembang ke berbagai penjuru dunia, kalimat syahadat telah mengakar dengan kuat dari Maroko di Afrika Utara bagian Barat sampai ke Merauke di Indonesia bagian Timur.

Hadirin Para Jamaah Ied yang mulia

Perkembangan da’wah Islamiyah yang demikian pesat itu, pada dasarnya ditunjang oleh esensi ajaran Islam yang berkaitan dengan konsep kemanusiaan yang Islami atau ‘humanisme religius’. Sebagai telah dimaklumi, bahwa Islam sebagai agama wahyu terakhir yang sempurna, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT saja, yang disebut hubungan vertikal, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya, yang disebut hubungan horizontal. Kedua hubungan yang sangat luhur itu dalam al-Qur’an disebut: “Hablun minallâh dan hablun minannâs”.

Sebelum dibangkitkannya agama Islam yang dibawa Nabi besar Muhammad SAW, umat manusia di dunia dilanda permusuhan dan kebencian antar suatu bangsa dengan bangsa lainnya, permusuhan antar ras, suku dan golongan. Kelompok yang satu memusuhi kelompok yang lain, perbudakan terjadi diberbagai bagian dunia, ras diskriminasi, pembagian manusia dengan kasta-kasta, dari kasta yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Dalam kehancuran yang meresahkan itu, Islam datang dengan konsep ajarannya mengenai persamaan hak, kemanusiaan yang luhur, tidak ada perbedaan antara suatu bangsa dengan bangsa lainya, antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, kecuali dengan taqwa yang dimilikinya.

Islam mengajarkan bahwa kita semua adalah saudara, kita berasal dari jenis yang sama, tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwa. Ajaran tentang humanisme tergambar dengan jelas melalui pesan-pesan Nabi SAW di padang Arafah. Lebih empat belas abad yang lalu, di padang Arafah yang tandus, yang kini mulai ditumbuhi pohon-pohon menghijau, Rasul Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang luhur. Dalam pidato perpisahannya di sana, juga dalam rangka ibadah haji, yang disebut haji wada’ atau haji perpisahan, sebagai ibadah haji terakhir sebelum beliau wafat. Rasul yang menjadi rahmat bagi alam semesta itu menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang amat mengharukan dan berkesan sampai kelubuk hati.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.. (رواه أحمد والبيهقي والهيثمي)

“Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan ayahmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap orang yang berkulit merah, tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan taqwanya..” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).

Pidato perpisahan yang amat singkat itu membuat para sahabat Nabi terharu, sehingga pakaian ihram mereka yang putih bersih itu bersimbah air mata, menandakan pesan itu amat berkesan dan sangat berpengaruh terhadap prilaku mereka. Misi perdamaian dan persamaan hak inilah yang kemudian dikembangkan dan diperjuangkan para sahabat, sehingga menjadi umat yang besar dan berwibawa yang selalu dikagumi oleh semua bangsa di dunia.

Konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur, semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita semua adalah bersaudara, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwanya. Firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ.. (الحجرات/49:13)

“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa”. (Q.S. al-Hujarat, 49:13)

Dalam ayat lainnya Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الحجرات/49:10)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. al-Hujarat, 49:10).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَ لاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَ لاَ تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَ لاَ تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (الحجرات/49:11)

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mencela kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang dicela) lebih baik dari mereka (yang mencela) dan jangan pula wanita-wanita (mencela) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang dicela itu) lebih baik dari wanita (yang mencela) dan jangalah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (Q.S. al-Hujarat, 49:11)

Selanjutnya download disini